Guno Tri Tjahjoko
Demokrasi telah kehilangan ‘rohnya’ di Indonesia, hal ini ditengarai dengan adanya kesenjangan antara elite politik dengan masyarakat. Indikasi ini semakin kuat dengan dipublikasikan sejumlah daftar nama caleg melalui media massa yang tidak mewakili kepentingan rakyat. Ironinya masyarakat ‘dipaksa’ mencermati dan memberikan masukan kepada KPU atau partai politik sejumlah daftar nama yang tidak mereka kenal. Aneh tapi nyata : yang empunya kedaulatan itu rakyat, namun daftar nama caleg tersebut tidak mencerminkan kepentingan mereka. Hal ini mengindikasikan kegagalan partai politik dalam kaderisasi dan mengakomodasi kepentingan rakyat. Artinya dalam proses pencalegan tersebut, mereka tidak melibatkan rakyat.Dengan kata lain tidak ada hubungan antara pencalegan dan upaya mensejahterakan rakyat. Hal ini dilakukan oleh elite politik dengan sadar dan dia mengganggapnya paling benar.
Ironinya pencalegan oleh partai politik yang tidak merepresentasikan kepentingan rakyat tersebut dianggap memenuhi amanah demokrasi (one person, one vote, one value). Demokrasi telah kehilangan ‘rohnya’ terbukti dengan maraknya 507 caleg muka lama (90,5%) yang mencalonkan lagi dalam Pemilu 2014 (Kompas, 30 April 2013). Dengan mengetahui kinerja mereka selama lima tahun ini, maka kita tidak dapat berharap banyak adanya perubahan dan perbaikan kesejahteraan rakyat pasca Pemilu 2014 (dan 2019).
Saya berargumen suara publik (rakyat) seharusnya terepresentsi dalam diri caleg. Artinya caleg yang diajukan oleh partai ke KPU tersebut merupakan wakil resmi dari rakyat, dimana mereka merepresentasikan aspirasi mereka. Para caleg ini telah terbukti berkarya nyata mensejahterakan rakyat dan benar-benar dicalonkan oleh rakyat melalui partai politik. Namun peranan elit partai politik tersebut seolah ‘merampok’ aspirasi rakyat dan menggantikannya dengan nama caleg yang tidak mewakili kepentingan mereka. Tidak heran dalam sistem politik kita tidak berlaku rakyat mengontrol elite partai politik. Hal ini yang menyebabkan terjadinya pemusatan kekuasaan hanya pada sekelompok elit. Dengan demikian ada satu persoalan serius dalam proses demokrasi di Indonesia,namun kita kurang berani mengkritisi dan mengubah paradigma yang salah tsb.Adanya kesenjangan politik tersebut memunculkan pertanyaan : “Bagaimana menyalurkan suara rakyat dalam ranah publik ?”
Sesat pikir
Untuk mengurai apakah suara rakyat tereperesentasi dalam ranah publik, maka diperulukan keberanian membongkar cara pikir elite politik yang kurang tepat. Selama ini proses demokrasi hanya dipahami sebagai rangkaian prosedur administrasi, oleh karena itu saya menyebutnya dengan istilah demokrasi prosedural. Artinya demokrasi yang sudah berlangsung selama ini dan kita biarkan hanya sekedar memenuhi syarat administratif. Demokrasi seperti ini memunculkan apatisme dalam masyarakat.Kalau hal ini dibiarkan terus menerus,maka angka golput akan terus meningkat dan mungkin bisa memengaruhi masyarakat lapis bawah. Mereka sudah jenuh dengan pemilihan caleg yang tidak membawa perubahan ekonomi bagi mereka. Mereka akan mengadakan perlawanan terhadap elit politik dengan cara tidak memilihnya.
Tampaknya ada kesalahan pikir tentang demokrasi yang dipahami oleh elit politik yang diidentikkan dengan one person, one vote,one value dimana partai mengajukan caleg dan KPU menetapkan caleg. Demokrasi seolah identik dengan sebuah prosedur pencalegan dan pemilihan anggota legislatif secara administratif saja. Seolah dengan prosedur pencalegan dan penetapan oleh KPU – hal ini sudah dianggap demokrasi yang benar.Kita lupa bahwa sistem one man one vote tersebut bermuara dari budaya Barat yang menekankan kebebasan,kesetaraan dan persaudaraan. Tampaknya elit politik lebih senang didekte oleh nilai–nilai demokrasi Barat dan meninggalkan jati diri demokrasi yang berbasis keindonesian. Inilah masalah serius yang sedang kita hadapi dalam era transisi demokrasi, sudah selayaknya kita harus berani mengevaluasi sistem pencalegan dan penetapan caleg yang seharusnya menghasilkan orang yang berintegritas, berkualitas dan benar-benar mewakili suara rakyat.
Implikasi penerapan demokrasi yang dipahami secara prosedural tersebut berdampak pada munculnya transaksi jual beli suara. Artinya caleg mendaftar ke partai politik dan ‘membeli nomer urut’ yang merupakan tiket untuk ikut Pemilu. Ketika mereka diperhadapkan dengan masyarakat – mereka bingung, karena tidak mengenal dan tidak tahu harus berbuat apa. Oleh karena itu untuk memengaruhi masyarakat,para caleg pun melakukan tindakan money politics. Tampaknya kekuasaan hanya dipersepsi seperti jual beli barang di pasar, dimana terjadi negosiasi antara pembeli dan penjual. Caleg yang bermodal uang banyak mampu membeli suara banyak, namun sebaliknya caleg yang miskin tidak mampu membeli suara.
Secara esensial dengan adanya sistem one person, one vote, one value yang dipaksakan,maka masalah yang dihadapi dalam berdemokrasi ialah elite politik tidak sepenuhnya mewakili rakyat di Daerah Pemilihan, karena dia tidak dicalonkan oleh masyarakat. Yang sering terjadi elit ditentukan dari Jakarta oleh pimpinan partai, karena dia telah memberikan sejumlah ‘upeti’. Dengan demikian demokrasi hanya sebuah proses prosedural dan kehilangan rohnya. Demokrasi akan mengalami ‘kematian’ dan digantikan dengan transaksi uang. Hal ini terbukti dengan tekuaknya ratusan Kepala Daerah yang terlibat korupsi,karena membayar hutang kampanye kepada para pengusaha.Tampaknya suara rakyat tidak lagi berdaulat, sebaliknya kedaulatan rakyat ‘dirampok’ oleh elit politik. Yang dibutuhkan dalam proses demokrasi di Indonesia ialah terakomodasinya suara kolektif masyarakat dalam domain publik.
Demokrasi kontekstual (desa)
Untuk melacak bagaimana suara rakyat terepresentasi dalam ranah publik, kita perlu menengok demokrasi desa yang berbeda dengan sistem demokrasi Barat. Bung Hatta berani mengoreksi Soekarno, karena praktik demokrasi terpimpin yang dianggapnya menyimpang dari sistem budaya demokrasi di Indonesia. Hatta berpandangan demokrasi yang asli Indonesia berbasis pada musyawarah masyarakat desa. Demokrasi tersebut bercirikan : rapat, mufakat, gotong royong, hak mengadakan protes bersama dan hak menyingkir dari daerah kekuasaan raja. (Hatta,2002:123).Kelima anasir tersebut menjadi ciri demokrasi asli Indonesia yang mengutamakan kepentingan kolektif dan mengesampingkan kepentingan pribadi.
Anasir rapat,mufakat dan gotong royong merupakan ciri khas kehidupan masyarakat desa-Semua persoalan dalam masyarakat dimusyawarahkan bersama dalam pertemuan rembug desa.Dalam pertemuan antar warga tersebut tidak ada voting atau suara mayoritas yang menang. Pengutamaan musyawarah dalam menyelesaikan persoalan desa dilakukan dengan terbuka dan tulus, sehingga tidak ada yang merasa kalah dan menang. Semua yang bermusyawarah merasa menang dan diuntungkan. Sikap dan kemauan untuk bermusyawarah adalah sikap yang mau bersinergi. Dalam konteks bersinergi tersebut akan mewujud dengan sikap toleran dan gotong royong. Semangat bergotong royong inilah yang memungkinkan terwujudnya kemajuan bagi pembangunan di desa.
Tampaknya sikap dan praktik gotong royong ini tidak dikenal dalam masyarakat Barat, sebab mereka lebih cenderung individualis. Yang menarik dalam konsep Hatta tersebut juga dituliskan hak protes bersama dan menyingkir dari daerah kekuasaan raja. Saya menafsirkan ke dua anasir tersebut sebagai sikap yang independensi masyarakat terhadap kekuasaan. Artinya setiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapat dan setara terhadap sesama yang lain. Selain itu setiap orang berhak juga untuk tidak tunduk pada rejim otoriter. Dengan kata lain esensi dalam berdemokrasi ialah suara rakyat merupakan suara kekuasaan. Saya lebih senang memakai istilah suara kekuasaan daripada ‘suara Tuhan’, sebab ada perbedaan yang mendasar antara keduanya. Suara kekuasaan yang saya maksud rakyatlah yang berdaulat dan memiliki kekuasaan. Semantara para caleg adalah orang yang menerima pendelegasian suara rakyat tsb. Kalau suara rakyat dirampok oleh elit politik,maka akan muncul ketidakpercayaan masyarakat terhadap elit yang dapat memicu kerawanan sosial.
Suara rakyat sebagai kontrol
Oleh karena suara rakyat adalah suara kekuasaan, maka merekalah yang berdaulat bukan elit politik. Permasalahan kita ialah bagaimana menerapkan prinsip demokrasi kontekstual tersebut dalam ranah publik,agar suara rakyat menjadi pengontrol elit politik ? Saya berpendapat perlunya mengaktifkan media rembug desa sebagai media akomodasi suara rakyat di seluruh Indonesia. Sesungguhnya masyarakat desa sudah memiliki pertemuan rutin bulanan,baik untuk membahas masalah pertanian,keamanan, ekonomi masyarakat dan arisan. Forum rebug desa merupakan cerminan aspirasi warga, namun hal ini sering hanya berlaku untuk warga dan tidak memiliki dampak politik, khususnya dalam pengambilan kebijakan publik. Oleh karena itu pada tataran desa dan kota diperlukan semacam rembug warga yang independen yang berfungsi untuk mengontrol dan memberikan masukan bagi elit politik dalam mengambil kebijakan. Selain itu hak masyarakat adat dengan segala keunikannya dapat terakomodasi baik pada ranah lokal maupun nasional. Hak masyarakat adat selama ini terpasung secara politik dan mereka termarjinalkan. Padahal merekalah yang mendukung terbentuknya NKRI- mereka dengan suka rela mau bergabung. Namun ironinya hak mereka belum terakomodasi secara politik, ekonomi dan hukum
Dalam era Orde Baru kita kenal dengan adanya kelompen capir yang direkayasa oleh elit politik sebagai formalitas dan pencitraan politik. Ide kelompen capir bagus,namun perlu direkonstruksi, agar asli dan tidak direkayasa. Kembalikanlah hak politik rakyat, sebab merekalah yang berdaulat. Berikanlah ruang publik, dimana aspirasi mereka dapat secara langsung berpengaruh dalam kebijakan publik.
Permasalahannya banyak masyarakat kita yang ‘buta politik’, sehingga sering dimanipulasi oleh elit politik. Oleh karena itu pada masa depan diperkukan suatu upaya mewujudkan suara rakyat dalam ranah publik. Artinya diperlukan suatu perubahan sikap dan keberanian untuk mementingkan dan mengutamakan kepentingan rakyat melebihi kepentingan pribadi maupun kelompok. Diperlukan pengembalian esensi demokrasi yang terindikasi dengan adanya peranan kontrol masyarakat terhadap elit politik. Selama ini elit politik tidak ada yang mengontrol, sehingga mereka semakin menjauh dari terwujudnya kemakmuran rakyat.
“Dalam segi politik dilaksanakan sistem perwakilan rakyat dengan musyawarah, berdasarkan kepentingan umum. Demokrasi desa yang begitu kuat hidupnya adalah pula dasar bagi pemerintahan ekonomi yang luas di daerah-daerah sebagai cermin dari pada pemerintahan dari yang diperintah” (Hatta,2002:123)
kaki merapi,22 Juli 2013
eagle fight alone
Tinggalkan Komentar