Yogyakarta– Jum’at, 14 September 2022 Prodi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta mengadakan Diskusi Angkringan Timoho dengan topik : “Jebakan Neokorporatisme Negara Dalam Pemerintahan Desa”. Topik ini merupakan diseminasi hasil penelitian dosen Prodi Ilmu Pemerintahan, Gregorius Sahdan, S.IP,MA, Minardi, S.IP, M.Sc dan Mohhamad Firdaus,S.IP,MA. Penelitian dilakukan di desa Bogem, Klaten Jawa Tengah selama 3 bulan. Diskusi Angkringan Timoho 50 mahasiswa di hall STPMD APMD. Menurut Gregorius Sahdan, S.IP,MA desa sedang menghadapi jebakan “neokorporatisme” negara yang bisa dilihat dari berbagai macam kebijakan dan program yang diintrusi negara ke desa. Beberapa di antaranya adalah “SDGs” (Sustainable Development Goals) dan “BLT Dana Desa” (Bantuan Langsung Tunai). SDGs dan BLT Dana Desa, tidak hanya mengebiri dan menghancurkan kewenangan desa sesuai dengan amanat undang-undang desa No.6 Tahun 2014 tentang desa, tetapi juga mematikan inisiatif dan prakarsa desa untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sebagai “self governing community”. Berdasarkan UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa, desa dimandatkan sejumlah kewenangan untuk mengatur dan mengurus desa (Pasal 18 dan 19 UU Desa). Tetapi faktanya, pemerintah pusat mengendalikan dan mengontrol desa melalui kebijakan atau program Pemerintah.
Neokorporatisme atau lebih tepat disebut dengan istilah korporatisme baru adalah model korporatisme nagara yang oleh Lucio Baccaro disebut sebagai “democratic corporatism” atau korporatisme demokrasi (Baccaro, 2002). Baccaro mendefinisikan korporatisme sebagai “pola pembentukan kebijakan yang dilembagakan”. Korporatisme juga didefinisikan sebagai sistem organisasi sosial yang memiliki dasar pengelompokan manusia menurut komunitas kepentingan alami dan fungsi sosialnya serta sebagai organ sejati dan utama negara yang mengarahkan buruh, masyarakat dan modal demi kepentingan bersama.
Neokorporatisme desa berkembang setelah munculnya UU Desa No.6 Tahun 2014 tentang Desa yang bisa dilihat dari pola pembentukan kebijakan negara terhadap desa yang dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara agregasi dan dengan cara deliberasi. Cara agregasi adalah cara dimana negara melakukan “society in government” atau memasukkan masyarakat ke dalam Lembaga-Lembaga formal bentukan negara seperti MUSDES dengan tujuan untuk “menukar kepentingan masyarakat” dengan kepentingan pemerintah. Proses agergasi penukaran kepentingan masyarakat dengan kepentingan negara, telah membuat MUSDES sebagaimana diatur dalam pasal 54 UU Desa telah menjadi “FORUM SEMU” dan hanya ‘akal-akalan’ negara. Di sisi yang lain, negara juga melakukan deliberasi terhadap desa melalui pembentukan kebijakan “government in society”, dimana negara memasukkan program seperti SDGs, BLT Dana Desa dan sebagainya yang dalam pelaksanaanya membuka ruang diskusi kepada masyarakat desa. Tetapi sejatinya, strategi deliberasi yang dilakukan oleh negara itu merupakan bentuk “pemaksaan” agar program pemerintah pusat sukses dijalankan desa.
Dalam tanggapannya Dr. Sutoro Eko Yunanto memaparkan bahwa negara menjadi parasit bagi desa. Negara menginstrumentasi desa untuk kepentingan dirinya. Proyek SDG’s dan BLT merupakan fenomena negara menjadi parasit bagi desa. Kesimpulan Diskusi Angkringan Timoho ini, sebagai berikut :
Tinggalkan Komentar